Selasa, Juni 30, 2015

Jawabanku untuk Bpk. Asnawi hakim, Aulia arfan,Helmi Fauzi dan Munir El Sasaki


  Asnawi Hakim

  Direktur di PT. UDAR IDER TBK
Pernah bekerja di: aswaja dan Pasuran Putu Santri NH
 
Pernah belajar di Universitas Menyan Indonesia

Dari Kota Bogor · Pindah ke Kota Bandung

pak mahrus ali ituh hehehe karna menurut nya itu gk di lakukan di masa kanjeng nabi kita hehehe
  Asnawi Hakim pak mahrus emang tampil beda hehehe back to sunnah katanya.. solat mesti beralaskan tanah pake lantai keramik ato marmer mamnu' apa lg pake sajadah bid'ah gk tau level berapa bidengah nya

Komentarku ( Mahrus ali ):
Saya ini tidak memperdulikan apa yang saya sampaikan ini beda atau sama dengan ajaran Islam  yang membudaya di masarakat.
Memang tuntunan yang asli itu beda dengan tuntunan yg palsu yg sekarang membudaya dan menjadi tontonan di masaakat . Itu fakta bukan meng ada – ada hal yg semestinya tidak ada. Saya ingat hadis :
بَدَأَ الْإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ *
Islam mulai dalam keadaan terasing ( terpencil  dan   jarang pengikutnya ) . Dan akan kembali dalam keadaan terasing. Beruntunglah  orang orang yang terpencil . Hadis sahih , Muslim/Iman /145

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).  ( 116  Al an`am )


 
  Aulia Arfan Bahkan saya pernah dgr dari salah seorang ustadz salafy....tentang keutamaan memberikan penerangan di masjid... Bahkan yg memasang lampu akan mendapat pahala jariyah...

Komentarku ( Mahrus ali ):
Sy belum tahu dalilnya. Pendapat spt itu hanya akal – akalan yang menyesatkan  bukan  dalil yang mengarah kpd kebenaran.. Ia mengikuti budaya penerangan lampu di masjid – masjid yang ada didunia ini, bukan  spt masjid Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tanpa  lampu . Sy tahu masjid Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tanpa lampu , ada hadis sbb:
عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ أَتَاهُ سَائِلٌ يَسْأَلُهُ عَنْ مَوَاقِيتِ الصَّلَاةِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ شَيْئًا قَالَ فَأَقَامَ الْفَجْرَ حِينَ انْشَقَّ الْفَجْرُ وَالنَّاسُ لَا يَكَادُ يَعْرِفُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا (مسلم: 614) وفي رواية: حِينَ كَانَ الرَّجُلُ لَا يَعْرِفُ وَجْهَ صَاحِبِهِ أَوْ أَنَّ الرَّجُلَ لَا يَعْرِفُ مَنْ إِلَى جَنْبِهِ (أبو داود: 395)
Dari Abu Musa Al-Asy’ari: bahwa Rosul -shollallohu alaihi wasallam- pernah di datangi orang yang menanyakan waktu-waktu sholat, dan beliau tidak menjawabnya. Namun beliau kemudian mendirikan sholat shubuh, ketika muncul fajar. Ketika itu hampir saja mereka tidak mengenali satu sama lain. (HR. Muslim: 614) dalam riwayat lain redaksinya: “Ketika itu seseorang tidak mengenali raut wajah temannya”. Atau dengan redaksi: “Sungguh saat itu seseorang tidak mengenali siapa yang disampingnya”. (HR. Abu Dawud: 395, dishohihkan oleh Albani)سبل السلام (1/ 108)
لأنه كان مسجده صلى الله عليه وسلم ليس فيه مصابيح
…………., sebab masjid Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tiada lampu – lampunya.
Imam Dzahabi berkata:  
ثم إنه عليه السلام لم يأمرهم بوقود ، ولا بقناديل في مسجده ، ولا فعله ، وميمونة لا يدرى من هي ، ولا يعرف لعثمان سماع منها ) 0
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sendiri  juga tidak pernah memerintah untuk menghidupkan lampu di masjid, beliau  sendiri juga tidak pernah berbuat.







Mantap ulasan kang Dodi ElHasyimi
 

  Pernah bekerja sebagai Hubungan masyarakat di Wilwatikta Warehouse - WW
Pernah bekerja di: Teknisi Refill Toner
Jurusan Psikologi di Boro boro sarjana
Pernah belajar di: SMK Roudlotul Jannatinna'im

Dia menulis :
komentar paling shohih Mahrus Ali Nanti akan sy tunjukkan bahwa cerita yang di suguhkan oleh Dodi ElHasyimi adalah lemah, tdk valid, mengkaburkan ajaran Islam, tidak mecerahkan umat.

Komentarku ( Mahrus ali ):
Benar apa yg anda katakan.

 Munir El Sasaki menulis:

Saya sich hanya merasa ada kejanggalan ketika ada satu atau dua orang dimasa kita sàat ini yg tiba - tiba mempermasalahkan menggunaan lampu saat sholat..

[dari sisi ini saya tanyakan]

Knp ko menggunakan lampu itu (dihukumi bid'ah dholalah..?), yang berarti klw seseorang tdk menggunakan lampu itu maka (ia) mendapatkan pahala yang besar..?

Saya hanya minta agar dimunculkan pendapat salaf, atau minimal penjelasan - penjelasan dari Al A'immah (para ahlul 'ilm) dimasa lampau..

Krn jika hanya mengangkat dalil ini dan itu sebagai hujjah utk membid'ah dholalah kan masalah ini, saya khawatir aja klw (istidlal) dg hujjah yg dimunculkan tdk terarah dg benar (tdk tepat sasaran)


Komentarku ( Mahrus ali ):
Anda menyatakan:
Saya sich hanya merasa ada kejanggalan ketika ada satu atau dua orang dimasa kita sàat ini yg tiba - tiba mempermasalahkan menggunaan lampu saat sholat..

[dari sisi ini saya tanyakan]

Komentarku ( Mahrus ali ):
Saya umpamakan , adzan yang membudaya di kalangan Syi`ah menggunakan  asy hadu anna  aliyan  waliyullah.
Lalu ada orang yang meluruskan , maka  kalangan ulama  atau  juhala Syi`ah akan protes keras. Mereka tidak akan setuju. Mereka tidak tinggal diam. Dan mereka akan mengatakan sebagaimana  apa yang di katakan oleh bapak Munir itu?  Di masa spt ini  kok baru ada orang yang mengatakan adzan yg benar adalah tanpa  asyhadu anna aliyan waliyullah. Mengapa  ulama – ulama  yg dulu kok diam sj,
Mirip  juga dengan orang kristen yang menyatakan bahwa Yesus bukan Tuhan dan bukan anaknya, maka  dengan cepat akan diprotes oleh seluruh pendeta kristen seluruh dunia. Mereka takkan tinggal diam . Mereka akan menyesatkan pd orang yang meluruskan itu.Pada hal, hakikatnya pendapat pendeta – pendeta  itulah yang sesat dan orang tadi adalah benar.   

Perkataan seperti itu persis  dengan sinyalemen  orang – orang kafir ketika menolak kebenaran :
وَمَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي ءَابَائِنَا الْأَوَّلِينَ
Dan kami belum pernah mendengar (seruan yang seperti) ini pada nenek moyang kami dahulu". Al qashas 36.
Karena itu, jangan ikut perkataan orang kafir dulu atau sekarang tapi ikutilah perkataan orang mukmin  yaitu  sami`na wa atho`na kepada dalil dari Allah dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Ada atau  tidak ada ulama  yang berfatwa itu bukan persoalan . Yang penting itu dalil.
Lalu bpk Munir mengatakan lagi:
Knp ko menggunakan lampu itu (dihukumi bid'ah dholalah..?), yang berarti klw seseorang tdk menggunakan lampu itu maka (ia) mendapatkan pahala yang besar..?
Komentarku ( Mahrus ali ):
Apakah memakai lampu di masjid itu boleh dikatakan  mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu yang tidak memakainya dikatakan bid`   ah. Kalau  sedemikian ini jelas salah total bukan benar sebagian dan salah sebagian. Ia pendapat yg terbalik.
Jadi ketika  kita menjalankan shalat di masjid tanpa lampu itulah yg mengikuti tuntunan. Bila memakainya termasuk bid`ah dholalah dan tiada dholalah hasanah .
Bapak Munir menyatakan lagi:

Saya hanya minta agar dimunculkan pendapat salaf, atau minimal penjelasan - penjelasan dari Al A'immah (para ahlul 'ilm) dimasa lampau..

Komentarku ( Mahrus ali ):
Kan di muka sudah di tulis pendapat Imam Dzahabi, bc lagi.
Bapak Munir menyatakan lagi:

Krn jika hanya mengangkat dalil ini dan itu sebagai hujjah utk membid'ah dholalah kan masalah ini, saya khawatir aja klw (istidlal) dg hujjah yg dimunculkan tdk terarah dg benar (tdk tepat sasaran)

Komentarku ( Mahrus ali ):
Ini bentuk pelecehan dalil dan menjunjung pendapat ulama. Ini keyakinan yang harus dilenyapkan, bukan dibiarkan bertengger di pikiran dan hati kita. Kita jangan tergolong ayat sbb:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ(31)
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Tobat 31
Imam Syafii menyatakan:

لَا تُقَلِّدْ دِينَك الرِّجَالَ فَإِنَّهُمْ لَنْ يَسْلَمُوا مِنْ أَنْ يَغْلَطُوا.
Dalam masalah agama,jangan ikut orang, sebab  mereka mungkin juga salah. 
Anda menyatakan:
saya khawatir aja klw (istidlal) dg hujjah yg dimunculkan tdk terarah dg benar (tdk tepat sasaran)
Komentarku ( Mahrus ali ):
Terus apakah memakai lampu waktu shalat itu  sudah benar pemahaman hujjahnya dan anda  tidak hawatir dengannya? Tunjukkan dalilnya :

قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

Katakanlah: "Unjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar". Namel 64
Di ayat lain, Allah menyatakan:


أَمْ لَكُمْ سُلْطَانٌ مُبِينٌ(156)فَأْتُوا بِكِتَابِكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

Atau apakah kamu mempunyai bukti yang nyata? Maka bawalah kitabmu jika kamu memang orang-orang yang benar. Shoffat.

Aneh dikasih  dalil, malah hawatir keliru, dikasih pendapat ulama , malah yakin benar. Bagaimana  bila pendapat itu ternyata salah. Akhirnya anda  menyakini kebenaran suatu kesalahan


Kesalahan ulama ke 47


 LBMNU Jember menyatakan:

Hadits Al ‘Ash bin Wa’il
: قَدِمَ بَكْرُ بن وَائِلٍ مَكَّةَ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ



Al ‘Ash bin Wa’il berkata, “Pada saat suku Bakr bin Wa’il datang ke Mekah. Nabi berkata kepada Abu Bakar, ‘Datangi mereka dan tawarkan agama Islam pada mereka.”’ Lalu Abu Bakar mendatangi dan mengajak mereka memeluk agama Islam. Mereka menjawab, “Sampai pemimpin kami dating.” Setelah pemimpin mereka dating, Abu Bakar bertanya, “Siapa kalian ini?” Mereka menjawab, “Suku Dzuhl bin Syaiban.” Lalu Abu Bakar menjelaskan tentang Islam kepada mereka, dan mereka menjawab, “Sesungguhnya di antara kami dengan Persia terjadi peperangan, maka bila kami telah menyelesaikan urusan kami dengan mereka, kami akan kembali dan memikirkan ajakan anda.” Abu Bakar berkata, “Apakah bila kalian dapat mengalahkan mereka, maka kalian akan mengikuti agama kami?” Mereka menjawab, “Kami tidak berjanji memgikuti agama kalian, tetapi bila kami telah menyelesaikan urusan dengan mereka, kami akan kembali dan memikirkan ajakanmu.” Setelah suku Dzuhl bin Syaiban berhadapan dengan Persia, pemimpin mereka berkata, “Siapa nama orang yang mengajak kamu kepada agama Allah?” Mereka menjawab, “Muhammad.” Ia berkata, “Kalau begitu, nama Muhammad itu jadikan slogan (syiar) dalam peperangan.” Kemudian suku Dzuhl bin Syaiban itu mengalahkan Persia. Mendengar itu Rasulullah bersabda, “Dengan perantara namaku, mereka diberi kemenangan oleh Allah.”
Hadits ini diriwayatkan oleh al Hafizh al Haitsami –guru al Hafizh Ibnu Hajar-, mengatakan dalam Majmu al Zawa’id (6/10631), para perawi hadits ini tsiqat (dipercaya) dan perawi hadits sahih.
Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru apabila sesuai dengan tuntunan syara’. Dalam peperangan melawan Persia, suku Dzuhl bin Syaiban bertawasul dengan nama nabi agar memperoleh kemenangan. Tawasul yang mereka lakukan atas inisiatif pimpinan mereka dan belum mereka pelajari dari nabi. Ternyata tawasul mereka dibenarkan oleh nabi dengan penegasan beliau.  (dengan perantara namaku mereka diberi kemenangan oleh Allah). Dengan demikian, tidak selamanya perbuatan yang tidak diajarkan oleh Nabi selalu keliru dan buruk
.[1]

Komentar (Mahrus Ali):
Bukan dari Al Ash bin Wa’il sebagaimana yang ditulis oleh LBM NU Jember. Mungkin itu kekeliruan yang tidak disengaja atau salah tulis, karena sebenarnya sanadnya adalah sebagai berikut:
قَالَ اْلإِمَامُ الطَّبرَانِي ثَنَا مُحَمَّدٌ بْنُ عُثمانَ بْنِ أَبِي شَيبَةَ ثَنَا مِنْجَابٌ بنُ الْحَارِثِ ثَنَا خَلاَّدٌ بنُ عِيْسَى الأَحْوَلِ عَنْ خَالِدٍ بْنِ سَعِيدٍ بْنِ العَاصِ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ
Imam Thabrani berkata, “Bercerita kepada kami Muhammad bin Usman bin Abi Syaibah, lalu berkata, ‘Bercerita kepada kami Minjab bin Al Harits, lalu berkata, ‘Bercerita kepada kami Khallad bin Isa Al Ahwal dari Khalid bin Sa’id bin Al Ash dari ayahnya, dari kakeknya.
Jika menurut sanad tersebut, maka ada sebagian teman mengkritisi sebagai berikut:
وَقَدْ اِعْتَرَضَ بَعْضُ الْإِخْوَةِ عَلَى قَوْلِ الْهَيْثَمِيِ رِجَالُهُ ثِقَاتٌ بِأَنَّ الْعَاصَ رَجُلٌ كَافِرٌ
وَفِي هَذَا عِدَّةُ أَخْطَاءَ أَوَّلاً العَاصُ لَيْسَ هُوَ جَدُّ خَالِدٍ الْمَقْصُودِ فِي السَّنَدِ وَنَسَبُ خَالِدٍ كَمَا يَلِي
Sungguh sebagian teman mengkritisi perkataan Al Haitsami yakni, “perawi-perawinya adalah terpercaya,” sebab Al Ash adalah lelaki kafir.
Di sini terdapat beberapa kekeliruan. Pertama, Al Ash itu bukan kakek Khalid yang ada di sanad tersebut.
Nasab Khalid sebagai berikut:
خَالِدُ بْنُ سَعِيدٍ بْنِ عَمْروِ بْنِ سَعِيدٍ بْنِ العاص بْنِ سَعِيدٍ بْنِ العاص وَهُوَ صَدُوقٌ مِنْ رِجَالِ الْبُخَارِيِّ
Khalid bin Sa’id bin Amar bin Sa’id bin Al Ash bin Sa’id bin Al Ash adalah perawi yang suka berkata benar dan termasuk perawi-perawi Imam Bukhari.
وَسَعِيدُ بْنُ عَمْروِ ثِقَةٌ مِنْ صِغَارِ الثَّالِثَةِ مِنْ رِجَالِ الصَّحِيحَيْنِ أَرْسَلَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيه وآله وَسَلَّمَ وَرَأَى جَمْعًا مِنَ الصَّحَابَةِ وَاُنْظُرْ التَّمْهِيدَ ج4 / ص26
أَمَّا عُمْرُو بْنُ سَعِيدِ فَهُوَ مِنْ التَّابِعِينَ وَذَكَرَهُ بَعْضُهُمْ فِي الصَّحَابَةِ وَرَدَّ ذَلِكَ اِبْنُ حَجْرِ فِي الْإصابَةِ فَذَكَرَهُ فِي الْقِسْمِ الرّابعِ
Said bin Amar adalah perawi terpercaya dan termasuk yunior tingkat tiga dari perawi-perawi sahih Imam Bukhari dan Muslim, dia me-mursal-kan hadits dari Nabi. Adapun Amar bin Sa’id termasuk tabi’in. Sebagian ulama menyatakan dia termasuk sahabat. Ibnu Hajar membantahnya dalam kitab Al Ishabah, lalu disebutkan dalam bagian ke empat.
Jadi, sanad LBM NU Jember di atas jelas salah dan bukan kebenaran yang tersamarkan, sedangkan sanad Baihaqi pun keliru, sebab Al Ash adalah seorang yang kafir. Dan, nasab Khalid yang benar adalah yang terakhir. Namun, kakeknya adalah tabi’in dan bukan sahabat Nabi. Jadi, hadits tersebut mursal dan bukan hadits yang sahih, tetapi lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah. Hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah apalagi dijadikan dalil oleh LBM NU Jember untuk memperkenankan tawasul dengan nama Nabi, seolah nama Nabi itu sejajar dengan nama Allah atau mirip dengan Asmaul Husna yang bisa dipakai untuk berdoa kepada Allah. Perhatikan ayat berikut:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Asmaul Husna adalah milik Allah, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya, mereka akan mendapat balasan atas apa yang mereka kerjakan.[2]
. Ikutilah ayat berikut ini:
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ ِللهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَدًا
Dan, sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka, janganlah kamu berdoa kepada seorang pun di dalamnya, di samping berdoa kepada Allah.[3]
Ayat tersebut menyatakan larangan menyebut nama siapapun untuk mendekatkan diri kepada Allah ketika berdoa. Berdoa dengan menyebut nama makhluk untuk sang Khalik adalah bid’ah yang munkar dan tidak ada tuntunannya. Ini mirip dengan ayat:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
Dan, orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka selisihkan. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang berdusta dan sangat ingkar.[4]



[1] Membongkar Kebohongan Buku …/hlm. 87
[2] QS. Al A’raf: 180
[3] QS. Jin: 18
[4] QS. Az Zumar: 3