Minggu, Mei 24, 2015

Riwayat hidup ahli bid`ah yang tobat

Ln
6 April

Waktu masih sekolah di SD (Sekolah Dasar) dulu, pernah saya diajak nenek (ibunya bapak) ke makam/kubur (katanya) syaikh Yusuf yang letaknya di perbatasan Gowa-Makasar. Syaikh Yusuf adalah ulama yang kiprahnya sampai di kampungnya Nelson Mandela – Afrika Selatan. Saya waktu itu ikut saja, namanya juga masih anak-anak dan tinggal di keluarga dengan pemahaman pagan – kuburiyyun (Islam Tradisional). Saya ingat waktu itu selepas keluar dari komplek, nenek melemparkan (tepatnya menaburkan) uang koin 5 rupiahan yang sebelumnya sudah dipersiapkan dari rumah. Anak-anak para penjual bunga, penjual lilin merah, dan lainnya pada ramai berebut uang koin yang berserakan. Mereka saling dorong, saling injak, saling rampas, seru sekali.
Setelah mengenal sedikit demi sedikit tentang sejarah, ada hal yang aneh berkenaan dengan kuburan syaikh yusuf itu. Paling tidak ada 3 tempat, 3 daerah yang mengklaim sebagai tempat dimakamkannya syaikh tersebut. Makassar, Banten, dan cape town-Afrika selatan. Mana kubur yang asli sampai sekarangpun saya tidak tahu.
Nenek saya memang sangat kolot. Agama menurut dia adalah agama yang diajarkan oleh orang tuanya. Dan yang diajarkan oleh guru-gurunya (dukun). Agamanya menempatkan orang mati lebih dari orang hidup. Nenek waktu itu masih tinggal di gubuk reyot kontrakan, lantainya cuma lantai semen, dan dindingnya gedhek, tapi kuburan paman (adik bapak) sudah di tembok, dilapisi dengan marmer (orang makassar bilang marmar), diberi pagar besi kelilingnya, dan dibuatkan pintu yang juga dari besi yang memakai tembok.
Nenek berduka (lebih tepatnya berpesta) saat kematian paman sampai 100 dan 1000 harinya. Saat mayat paman masih di ruang tamu, dibungkus kafan, dan tepat di samping kepalanya ada dup yang terus menerus berasap, nenek dan anak-anaknya, ponakan-ponakannya, serta keluarga besar yang lain menangis meraung-raung. Disebut-sebutnya semua kebaikan paman, paman yang disayangi orang sekampung, paman yang katanya preman baik, preman tauladan yang tidak pernah bikin onar. Paman yang hampir tidak pernah sholat dan berpuasa, tapi dialah yang selalu setiap bulan Ramadhan bergadang dan membangunkan orang-orang kampung untuk sahur, mengingat ini semua nenek makin meraung.
Setelah lewat 3 hari paman dikubur, rumah nenek masih dipasangi bendera putih tanda masih berduka, tenda terpal juga belum dibongkar. Hari ke 40 kematian paman, nenek potong kambing. Rumah jadi ramai lagi, tetangga dan kerabat pada datang. Nenek pesta dengan matinya paman. Waktu adik saya bertanya kenapa potong kambing, nenek bilang kalau kambing itu nanti yang akan dikendrai paman di shirot, titian rambut yang dibelah 7 di akhirat nanti. Adik kemudian dengan polosnya menimpali, “kenapa tidak dipotongkan motor saja, biar di shirotnya nanti busa cepat !?” . Nenek langsung memberengut marsh, saya dan adik akhirnya dibaikot nenek, selama sepekan tidak diajak ngomong.
Saya menghabiskan masa kecil saya sebagian besarnya bersama nenek di kota, bapak dan ibu dikampung. Saya hidup di tengah tengah keluarga yang setiap buat acara ada bagi-bagiin makanan-minuman yang diperuntukka untuk para orang mati kami. Semuanya bukan untuk agar kita yang hidup bisa ingat mati, tapi untuk orang yang sudah mati bisa juga menikmati makanan orang yang masih hidup. Ini yang saya lihat dan saya rasakan. Mati itu ibarat orang yang pindah rumah, diamnya dianggap tetap ada dan dapat dipanggil kalau sedsng ada kejutan/pesta. Kami anak-anak dilarang memakan makanan atau minuman yang disediakan dalam sebuah nsmpan besar. Manakan (nasi, ketan, klepon, ikan, daging, ayam) dan minuman (teh atau kopi), bahkan kadang plus rokok satu bungkus ditata di atas nampan besar mengelilingi dupa . Biasanya guru (dukun) akan membaca jampi-jampi, do’a Al-Fatihah atas makanan dan minuman tadi sambil di-Aaminkan oleh nenek yang duduk ta’dzim di depan guru (dukun).
Kembali kek kuburan syaikh Yusuf tadi, kuburan itu punya kubah; kubahnya khas. Kubah seperti itu sama dengan kubah di kuburan-kuburan para petinggi kerjaan Gowa lainnya. Bentuknya tidak pas seperti kubah masjid, tapi lebih seperti gundukan gunung jika melihat dari kejauhan. Kawan-kawan yang dulu ahli logika (artinya segala sesuatu hatus bisa di logikakan) lalu kemudian masuk syiah, menjadikan kuburan syaikh yusuf sebagai tempat mereka untuk thowaf. Logika mereka justru tidak jalan saat melakukan ritual orang-orang pagan-kuburiyyun. Logika mereka juga tidak jalan saat mereka melakukan sujud di atas keping koin tanah yang dikatakannya sebagai “tanah karbala”. Logika mereka juga tidak jalan saat memukul-mukul dada dan kepala sambil teriak-teriak Husain-Husain. Mereka melakukan ritual penyembahan orang-orang pagan.
Jadi kuburiyyun, syiah dan semacamnya itu tidak lebih adalah agama yang satu, agama pagan (penyembah berhala) yang sama. Maka berkata jujurlah si Dajjal mata satu Gusdur saat mengatakan bahwa NU itu syiah. Mereka tidak lebih adalah penyembah kubur, penyembah orang mati (kecuali yang di rahmati Alloh).
https://www.facebook.com/groups/ayo.kita.luruskan.nu/permalink/847736895300591/
Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan