Minggu, April 15, 2012

Fatwa Tentang Penguasa Yang Menerapkan Undang-Undang Selain Syari’ah Allah (Habis)

 
SYUBHAT-SYUBHAT
Syubhat Pertama: Pendapat Ibnu Abbas Bahwa Ini Adalah Kufur Asghor Atau Kufrun Duuna Kufrin
Dalam kasetnya yang berjudul “Min Manahijil Khawarij“ yang direkam pada tanggal 29 Jumadil Akhirah 1416 H bertepatan dengan tanggal 23 Oktober 1995 M, dengan nomor 1/830 dari nomor berseri “Silsilatu Al Huda wa An Nuur”, Syaikh Nashirudin Al Albani menyerang mujahidin yang berjihad melawan para penguasa sekuler. Beliau menyatakan kekafiran para penguasa sekuler tersebut adalah Kafir Asghar, atau Kufrun Duuna Kufrin dengan dasar atsar shahabat Ibnu Abbas dan beberapa ulama tentang kufrun duna kufrin (Tafsir QS. Al Maidah : 44.45,47).
Beliau menuduh mujahidin sebagai Khawarij yang mentakwil ayat-ayat tersebut dengan takwilan batil yang menyelisihi tafsiran kaum salaf terdahulu, bahkan menyelisihi ulama tafsir, fiqih dan hadits setelah generasi salafu sholih. Menurut beliau, dengan penyelisihan ini, mujahidin telah menyelisihi firqah najiyah dan tidak termasuk firqah najiyah.
Sikap syaikh ini juga diikuti banyak lain, yang menyatakan kekufuran para penguasa sekuler negeri-negeri kaum muslimin hari ini sekedar Kufur Asghar.
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (QS Al Maidah 44)
Jawaban Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz
Kalaulah syaikh Nashirudin Al Albani dan para ulama lain menyatakan penguasa negeri-negeri ini tidak kafir dengan alasan menerapkan dan menjalankan hukum positif yang menihilkan syariah Islam sekedar Kufur Asghar ---berdasar kepada atsar Ibnu Abbas ini dan atsar beberapa murid beliau---, maka kalaulah pendapat ini diterima, vonis kafir dan murtad tetap mengenai para penguasa tersebut karena kekafiran mereka tidak hanya karena menjalankan atau menetapkan hukum positif semata, melainkan mereka juga menerapkan beberapa hal berikut :
1.    Nasionalisme ; semua ulama sepakat menyatakannya sebagai kafir akbar.
2.    Demokrasi ; adalah kafir akbar.
3.    Menyatakan hukum positif mereka lebih baik dari hukum Allah Ta’ala dan lebih sesuai dengan perkembangan zaman ; adalah kafir akbar.
4.    Menganggap hukum positif mereka sama baik dengan hukum Allah Ta’ala : adalah kafir akbar.
5.    Menegakkan pengadilan-pengadilan hukum positif adalah kafir akbar.
6.    Meyakini mereka tidak wajib menerapkan hukum Allah Ta’ala, mereka bebas hendak menerapkan hukum positif atau hukum Allah Ta’ala : adalah kafir akbar.
7.    Sekulerisme adalah kafir akbar.
8.    Membantu musuh-musuh Islam dalam memerangi umat Islam adalah kafir akbar.
Maka, alasan kufur asghar tidak bisa menggugurkan status hukum kafir dan murtad para penguasa tersebut, karena kekafiran mereka sangat parah dan karena banyak alasan.
[Kedua]- Status keshahihan atsar Ibnu Abbas rhadiyallahu anhu.
Ada beberapa atsar dari Ibnu Abbas mengenai ayat ini, sebagiannya memvonis kafir secara mutlaq atas orang yang berhukum dengan selain hukum Allah, sementara sebagian atsar lainnya tidak menyebutkan demikian. Karena itu, dalam menafsirkan ayat tersebut ada penjelasan rinci yang sudah terkenal.
* Imam Waki’ meriwayatkan dalam Akhbarul Qudhah 1/41,” Menceritakan kepada kami Hasan bin Abi Rabi’ al Jurjani ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abdu Razaq dari Ma’mar dari Ibnu Thawus dari bapaknya ia berkata,” Ibnu Abbas telah ditanya mengenai firman Allah, ”Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir“

Beliau menjawab, ”Cukuplah hal itu menjadikannya kafir.”
Sanad atsar ini shahih sampai kepada Ibnu Abbas, para perawinya adalah perawi Ash Shahih selain gurunya Waki’, yaitu Hasan bin Abi Rabi’ al Jurjani, ia adalah Ibnu Ja’d al ‘Abdi. Ibnu Abi Hatim mengatakan perihal dirinya,” Aku telah mendengar darinya bersama ayahku, ia seorang shaduq.” Ibnu Hiban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat.1 Dalam At Taqrib 1/505 Al Hafidz mengomentarinya,” Shaduq. (sangat jujur)”
[Ketiga]- Atsar Ibnu Abbas rhadiyallahu anhu bukan satu-satunya pendapat ulama salaf.
Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albani menganggap atsar shahabat Ibnu Abbas rhadiyallahu anhu sebagai satu-satunya pendapat ulama salaf dalam menafsirkan surat Al Maidah :44,45,47, sehingga beliau menuduh pihak-pihak yang mengkafirkan para penguasa negeri-negeri kaum muslimin hari ini melakukan takwil yang tidak berdasar, takwilan baru yang tidak dikenal generasi salaf dan orang-orang yang mentakwil ini telah keluar dari ahlu sunah wal jama’ah, tidak termasuk firqah najiyah (golongan yang selamat).
Berikut adalah Atsar dari shahabat tentang masalah ini :
وعن ابن مسعود t قال : الرشوة في الحكم كفر وهو بين الناس سحت. (رواه الطبراني في الكبير ورجاله رجال الصحيح.)
Abdullah bin Mas’ud berkata : “Suap menyuap dalam masalah hukum adalah kufur sedangkan di kalangan orang biasa adalah dosa yang sangat keji”. (HR Thabrani dengan periwayat yang terpercaya/tsiqah)
عن علقمة ومسروق: أنهما سألا ابن مسعود عن الرشوة، فقال: من السحت. قال فقالا أفي الحكم ؟ قال: ذاك الكُفْر! ثم تلا هذه الآية:"ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون".
تفسير الطبري - (ج 10 / ص 319)
Imam Ibnu Jarir Ath Thobari telah meriwayatkan dalam tafsirnya (12061) : dari Alqamah dan Masruq bahwa keduanya bertanya kepada Ibnu Mas’ud tentang uang suap, maka beliau menjawab,” Harta haram.” Keduanya bertanya,” Bagaimana jika oleh penguasa?” Beliau menjawab,” Itu sebuah kekafiran.” Kemudian beliau membaca ayat ini :
”Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir”
Atsar ini sanadnya shahih sampai Ibnu Mas’ud, para perawinya tsiqah para perawi Kutubus Sittah.
Juga diriwayatkan oleh : Abu Ya’la dalam musnadnya (5266), Al Baihaqi 10/139, Imam Waki’ dalam Akhbarul Qudhat 1/52, dan disebutkan Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Al Mathalibu Al ‘Aliyah 2/250, Syaikh Habibur Rahman Al A‘dzami menukil perkataan imam Al Bushairi dalam komentar beliau atas kitab Al Mathalibu Al ‘Aliyah,” Diriwayatkan oleh Al Musaddad , Abu Ya’la dan Ath Thabrani secara mauquf dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Al Hakim dan Baihaqi dari sanad ini…”
Syaikh Abu Isra’ Al Asyuthi berkata,” Atsar dari Ibnu Mas’ud ini membedakan antara uang suap yang terjadi di antara sesama manusia dengan yang terjadi di antara para penguasa atau qadhi saja. Yang pertama sekedar uang haram, sementara yang kedua telah kafir. Tak diragukan lagi maksud beliau adalah kafir akbar, dengan dua alasan :
1.    Beliau menyebutkannya secara mutlaq tanpa ada ikatan. Kata kufur jika disebutkan secara mutlaq maka maknanya adalah kafir akbar, sebagaimana sudah dimaklumi bersama.
2.    Beliau menyebutkannya sebagai lawan dari uang haram, sementara melakukan suap yang merupakan sebuah harta haram adalah Kafir Asghar. Dengan demikian, kebalikannya adalah kafir akbar
Imam Al Jashash dalam Ahkamul Qur’an 2/433 berkata, ”Ibnu Mas’ud dan Masruq telah mentakwilkan haramnya hadiah bagi penguasa atas penanganan perkaranya”.
Beliau mengatakan, ”Sesungguhnya menerima uang suap bagi para penguasa adalah kekafiran.”
Kesimpulan Syaikh Abdul Qadir Bin Abdul Aziz
1.    Dengan ini semua, kalau ada yang berpendapat bahwa setiap orang yang berhukum dengan selain hukum Allah telah kafir dengan Kafir Akbar yang mengeluarkan dari millah, maka pendapat ini telah dinyatakan jauh sebelumnya oleh ulama salaf : Ibnu Abbas t dalam sebagian riwayat dan Abnu Mas’ud t. Wallahu A’lam.
2.    Hal ini kami sampaikan, meskipun kami sendiri meyakini bahwa pendapat yang benar dalam masalah ini bahwa kata “kafir” tersebut mengandung dua macam kekafiran ; kafir asghar dan kafir akbar sesuai kondisi orang yang berhukum dengan selain hukum Allah.
3.    Jika ia berhukum dengan selain hukum Allah ; ia mengakui wajibnya berhukum dengan hukum Allah, mengakui perbuatannya tersebut adalah maksiat dan dosa dan berhak dihukum, maka ini kafir asghar.
4.    Namun apabila ia berhukum dengan selain hukum Allah ; karena menganggap remeh hukum Allah, atau meyakini selain hukum Allah ada yang lebih baik, atau sama baik atau ia boleh memilih antara berhukum dengan hukum Allah dan hukum selain Allah, maka ini kafir akbar.
Inilah yang dimaksudkan dari pendapat Ibnul Qayyim dan Ibnu Abbas
5.    Namun kami tetap mengatakan bahwa atsar ini adalah untuk seorang penguasa yang memutuskan sebuah kasus atau lebih dengan selain hukum Allah dalam kondisi syariat Islam menjadi satu-satunya syariat yang berkuasa.
6.    Adapun orang-orang yang menetapkan undang-undang dan memutuskan perkara di antara manusia dengan undang-undang buatan mereka tersebut yang tidak mendapat izin Allah, maka perbuatan mereka ini kafir akbar mengeluarkan dari millah, dan tidak termasuk dalam pembagian di atas
Syubhat Kedua : Para Ulama Tidak Mengkafirkan Khalifah Al Ma’mun
“Mengapa Imam Ahmad bin Hanbal tidak menganggap Khalifah Al-Ma’mun yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk sebagai orang kafir ?”
Syaikh Al Mujahid Abu Qatadah Al Filishtniy – fakkallohu asrahu- menjawabnya dengan jawaban sebagai berikut :
“Di antara syubhat orang-orang yang tak mau memvonis kafir pemerintah yang mengganti syariat Allah tidak membolehkan menetang dan melawan mereka dan bahkan membolehkan berbaiat kepadanya ialah perkataan mereka, “Sesungguhnya para ulama - yg salah satu tokoh utamanya adalah Imam Ahmad bin Hanbal- tidak memvonis kafir khalifah Al Ma’mun, dan tidak melancarkan pemberontakan untuk menggulingkannya meskipun ia berpendapat Al-Qur’an adalah makhluk serta berpendapat bahwa Allah tidak memiliki sifat.”
Kami jawab, semoga Allah memberikan petunjuk kepada kami, “Alasan di atas tak akan dikatakan, kecuali oleh orang-orang bodoh dan awam. Jika ia bukan orang bodoh, berarti orang yang mempermainkan agama Allah. Bagi yang mengerti realitas kita hari ini, mengetahui sebab kafirnya pemerintah saat ini, serta mengetahui sikap para Imam Ahlus Sunnah terhadap mereka yang salah dalam menakwilkan nash, akan memahami bahwa kondisi Khalifah Al Ma’mun tak bisa dibandingkan dengan realitas pemerintahan saat ini dari sisi mana pun. Sebab, terdapat perbedaan yang sangat besar antara mereka yang sengaja dan bermaksud untuk berpaling dan menolak hukum Islam dengan mereka yang berupaya mencari kebenaran, namun ternyata mereka terjerumus dalam pemahaman yang salah. Sebagaimana dalam kasus Khalifah Al Ma’mun dan penerusnya yaitu Al Mu’tashim yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk juga kelompok Jahmiyyah yaitu mereka yang beranggapan bahwa Allah tidak memiliki sifat. Mereka ini dikategorikan sebagai orang-orang yang salah dalam mentakwil (mis interpretation).
Mazhab Ahlussunnah telah mempunyai sikap pendapat dan hukum yang pasti terhadap mereka yang salah dalam memahami dalil dan dalam mentakwil. Kita bisa mengatakan, bahwa ulama salaf telah bersepakat atas hukum mereka yang salah paham, meskipun terdapat perbedaan di kalangan ulama muta’akhirin yang datang kemudian.
التأويل: هو اعتقاد غير الدليل دليلاً، وصورته: أن يقول المرء قولاً أو يعتقد أمراً أو يفعل فعلاً وهو يظن أن هذا القول وهذا الفعل وهذا الاعتقاد هو الحق الذي جاء به الرسول r وهو في حقيقة الأمر وفي نفس الأمر ليس كذلك، فهو رجل يريد الحق ولا يُدركه، وهذا حال أهل البدع في أمّتنا فإِنهم يريدون الحق ولكنهم أخطأوه، والبدع قد تكون في العلْميات «كالبدع الاعتقادية» وقد تكون في العملِيات، وهؤلاء مع قولهم وفعلهم واعتقادهم المخالف للشريعة إلاّ أن قصدهم يعذرهم في نفس الأمر، ولهذا نهى الأئمة عن تكفير المتأوّلين، وقد كتب ابن حزم كتاباً في هذا ذكره في كتابه "إحكام الأحكام"،
Adapun definisi ta’wil ialah meyakini sebuah ayat atau hadits sebagai dalil, padahal ayat atau hadits tersebut sebenarnya bukanlah dalil dalam masalah yang dimaksudnya. Contohnya ialah saat seseorang berpendapat tentang sesuatu, meyakini sebuah keyakinan, atau melakukan suatu perbuatan yang dikiranya bahwa pendapat, keyakinan, atau perbuatan ini benar sebagaimana yang diajarkan Nabi, sementara pada hakikatnya hal itu tidaklah demikian. Ia ingin mencari kebenaran, tapi tidak mendapatkannya.
Keadaan ini seperti yang terjadi dengan para ahlul bid’ah saat ini. Mereka sebenarnya ingin melakukan kebenaran, tapi mereka justru terjerumus dalam kesalahan. Dan bid’ah serta kekeliruan semacam ini, bisa terjadi dalam masalah keyakinan (I’tiqad/Aqidah) bisa juga dalam amaliyyah (perbuatan).
Adapun Khalifah Al-Ma’mun dan kaum Jahmiyah, meskipun keyakinan dan pendapat mereka menyimpang dari syari’ah, namun karena tujuan mereka adalah ingin mendapatkan yang haq, maka para ulama berpendapat bahwa kondisi mereka ini menjadi penghalang untuk mengkafirkan mereka. Oleh sebab itu, para ulama melarang kita memvonis kafir bagi mereka yang salah dalam mentakwil namun sejatinya mereka ingin mendapatkan yang haq. Berkaitan dengan masalah ini pula, Ibnu Hazm telah menuliskannya dalam Ihkamul Ahkam.
Ini lah mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah. Berbeda dengan pendapat Khawarij dan Mu’tazilah yang memvonis kafir terhadap mereka yang tak sependapat dengan mazhabnya, sedangkan Ahlussunnah wal Jama’ah meskipun mereka tetap berkeyakinan ada di antara pendapat ahlul bid’ah yang menyebabkan pelakunya menjadi kafir seketika, tapi mereka tak langsung memvonis kafir setiap orang yang berpendapat demikian. Sebab, ada perbedaan besar antara vonis kafir terhadap perbuatan dengan vonis kafir pelaku perbuatan tersebut, dan perkara seperti ini sudah diketahui oleh para pelajar dan thalibul ilmi tingkat pemula sekali pun.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :
الأقوال التي يكفر قائلها، قد يكون الرجل لم تبلغه النصوص الموجبة لمعرفة الحق، وقد تكون عنده، ولم تثبت عنده، أو لم يتمكن من فهمها، وقد يكون قد عرضت له شبهات يعذره الله بها، فمن كان من المؤمنين مجتهداً في طلب الحق وأخطأ، فإن الله يغفرُ لهُ خطاياه كائناً من كان، سواءً كان في المسائل النظرية، أو العملية، هذا الذي عليه أصحاب النبي صلي الله عليه وسلم وجماهير أئمة الإسلام"
“Ada banyak ucapan yang bisa menyebabkan orang yang mengucapkannya menjadi kafir, namun bisa jadi si pengucap belum mengetahui dalil-dalil yang membuatnya bisa memahami kebenaran (bahwa ucapan itu dapat menyebabkan kekufuran –pent). Bisa jadi pula ia telah mengetahui, tetapi ia belum mengetahui tsubut (keabsahan) dalil itu ia belum memahami dalil tersebut dengan pemahaman yang benar. Bisa jadi pula karena ia mengalami kerancuan dalam memahami dalil tersebut, sehingga dimaafkan oleh Allah. Maka siapa saja dari orang mukmin yang mencari kebenaran, yang berijtihad dan bersungguh-sungguh dalam mencari kebenaran tapi ia terjatuh dalam kesalahan, Allah akan mengampuni semua kesalahannya siapa pun dia, baik dalam permasalahan pemahaman maupun permasalahan ibadah praktis. Demikianlah pendapat seluruh shahabat Nabi dan jumhur ulama kaum muslimin”.
إلى أن قال: "كان الإمام أحمد -رحمه الله تعالى- يُكفرّ الجهمية المنكرين لأسماء الله وصفاته، لأن مناقضة أقوالهم لما جاء به الرسول r ظاهرةٌ بينة... لكن ما كان يُكفّرُ أعيانهم، فإن الذي يدعو إلى القول أعظم من الذي يقول به، والذي يُعاقب مخالفه أعظمُ من الذي يدعو فقط... ومع هذا فالذين كانوا من ولاة الأمور يقولون بقول الجهمية، ويدعون الناس إلى ذلك ويُعاقبونهم، ويُكفرون من لم يُجبهم، ومع هذا فالإمام أحمد -رحمه الله تعالى- ترحمّ عليهم، واستغفرَ لهم، لعلمه بأنهم لم يُبَيَّنُ لهم أنهم مكذبون للرسول r ولا جاحدون لما جاء به، ولكن تأولّوا فأخطئوا، وقلّدوا من قال لهم ذلك..."
Sampai dengan fatwa Syaikhul Islam :
“………….Imam Ahmad mengafirkan orang-orang Jahmiyah yang mengingkari nama dan sifat Allah karena pendapat mereka yang jelas-jelas menyalahi ajaran Nabi Shollallohu 'alaihi wasallam. Akan tetapi, beliau tidak mengafirkan setiap individu yang berpendapat demikian. Sebab, orang yang mengajak orang lain hukumnya lebih berat dibandingkan dengan orang yang sekadar mengatakannya. Sementara itu, orang yang menghukum siapa yang tak mau mengikuti pendapatnya adalah lebih jahat dari mereka yang sekadar mengajak orang lain.
Pada waktu itu, para pejabat pemerintahan yang menganut pendapat kaum Jahmiyah menyeru manusia untuk menganut pendapat mereka serta menghukum dan memvonis kafir bagi yang tak mau mengikuti pendapat mereka. Meskipun demikian, Imam Ahmad tetap berbuat baik dan memintakan ampunan kepada Allah bagi mereka. Sebab, beliau tahu pasti mereka tak sadar bahwa mereka mendustakan Nabi dan menentang ajarannya, tetapi hanya salah dalam memahami kebenaran dan mengikuti orang-orang yang berpendapat seperti itu…”[1]
Beginilah sikap para ulama terhadap orang-orang yang salah dalam memahami dan mentakwil nash. Karena yang mereka inginkan sebenarnya kebenaran serta tak pernah bermaksud mendustakan Nabi Shollallohu 'alaihi wasallam dan menentang ajarannya sehingga hal ini menjadi penghalang mereka untuk divonis kafir.
Berbeda dengan para penguasa di zaman modern ini, bagi mereka yang menggunakan bashiroh dan akal mereka pasti akan bisa menyimpulkan dan mengetahui bahwa para penguasa pada zaman kita saat ini secara sengaja memang ingin menyelisihi dan menentang syariat Islam. Bahkan, mereka mendeklarasikan dan menyatakannya secara terang-terangan di dalam undang-undang dan peraturan hukum mereka : bahwa kedaulatan adalah berada di tangan rakyat. Kedaulatan yang berupa kekuasaan tertinggi dan mutlak yang berhak menentukan hukum atas segala perbuatan dan tindakan serta segala sesuatu yang berkaitan dengan peri kehidupan manusia.
Padahal, yang demikian ini merupakan makna kata Ar-Rabb dalam Islam, yakni Yang Maha Berkuasa, Yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, dan Yang Berhak Menetapkan Hukum dan Undang-undang. Sikap merebut hak Allah dalam tahkim (mengatur dan menentukan hukum) ini adalah inti kekufuran, pokok utama penentangan terhadap Syari’ah Allah, serta bentuk nyata pengingkaran dan pembangkangan terhadap Syari’ah Allah.
Lantas, bagaimana mungkin orang-orang buta dan bodoh itu bisa menyamakan pemimpin yang meyakini hanya Allah saja yang berhak menentukan hukum, melarang dan memerintah, tetapi salah dalam memahaminya dengan pemerintah yang menolak mengakui hanya Allah yang berhak melarang dan memerintah, bahkan menyatakan dirinya sendiri lah yang berhak menentukan hukum memerintah dan melarang ? Apakah dua hal ini sama? Kita berlindung kepada Allah dari pengkhianatan terhadap Syari’ah Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Oleh sebab itu, di antara yang menjadi ijma’ (kesepakatan) para ulama kita ialah bahwa pembuatan dan penetapan undang-undang yang menyelisihi hukum Allah adalah perbuatan kufur. Hal ini sebagaimana dinyatakan Imam Asy Syathibi dalam Al I’tisham jilid. I hlm. 61:
“Para ulama telah bersepakat bahwa mengganti aturan Dienul Islam (syari’ah Islam) dengan hukum selainnya ialah perbuatan syirik dan kufur”.
Sementara Ibnu Taimiyah mengatakan, “Kapan saja seseorang menganggap halal sesuatu yang disepakati keharamannya atau mengharamkan sesuatu yang disepakati kehalalannya atau mengganti syariat yang telah disepakati para ulama, para ahli fikih bersepakat ia telah kafir dan murtad”. [2]
Lalu, apakah yang dilakukan para penguasa negeri-negeri umat Islam saat ini (menerapkan hukum selain hukum Allah) termasuk salah ta’wil (paham) ataukah memang mereka berniat menyingkirkan Al Qur’an dan As Sunnah serta memegang erat-erat aturan Barat dalam mengatur negara ? Siapa saja yang menyangka pemerintah yang mengganti syariat Islam sebenarnya berniat baik, yakni ingin menerapkan syariat Islam tetapi mereka salah memahaminya (sebagaimana Khalifah Al-Ma’mun—Penj), berarti ia telah berbohong tentang realitas pemerintahan tersebut dan membohongi dirinya sendiri.
Realitas dan fakta yang ada membantah dan menepis anggapan tersebut. Sebab, penyimpangan pemerintah yang mengganti syariat Islam dengan syariat lain bukanlah karena mereka salah memahami syariat Islam, tetapi karena mereka memang ingin menyelisih, melawan, dan menandingi syariat Allah.
Perkara ini merupakan sesuatu yang sangat jelas dan terang. Namun, mereka secara terang-terangan justru menyatakan syariat Islam tidak masuk dalam urusan politik dan perundang-undangan. Di samping itu, mereka juga menganggap syariat Islam hanya mengatur hubungan antara hamba dan Rabbnya. Karena itu, orang-orang tersebut hendaknya takut kepada Allah dan tidak membohongi masyarakat atas nama agama.”
Sampai di sini jawaban Syaikh. Kita memohon kepada Allah agar dirinya beserta ilmunya bisa bermanfaat bagi Islam serta kaum muslimin dan berkenan membalasnya dengan sebaik-baik balasan.
Syaikh Abu Qatadah Al Filishtiny –fakkalloohu asrohu- menulis jawaban ini pada tanggal 14 Muharram 1418 H, 21 5 1997.
Syubhat Ketiga : Penguasa Itu Masih Shalat
Meskipun kaum Muslim diperintahkan untuk tetap mentaati penguasa zholim dan fasiq, dan dilarang memerangi dengan pedang, akan tetapi dalam satu kondisi; kaum mukmin wajib memisahkan diri dari mereka, tidak memberikan ketaatan kepada mereka, dan diperbolehkan memerangi mereka dengan pedang, yaitu, jika mereka telah menampakkan kekufuran yang nyata. Ketentuan semacam ini didasarkan pada riwayat-riwayat berikut ini. Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah r bersabda :
Hadits Pertama
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلاَ نُقَاتِلُهُمْ قَالَ r لاَ مَا صَلَّوْا
“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)". Para shahabat bertanya, 'Tidaklah kita perangi mereka?'. Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat". (HR. Muslim).
Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, Imam Nawawi dalam Syaroh Shahih Muslim menyatakan :
“Sabda Nabi r ini di dalamnya terkandung mukjizat yang sangat nyata mengenai informasi yang akan terjadi di masa mendatang, dan hal ini telah terjadi seperti apa yang telah dikabarkan oleh Nabi r.
Sedangkan sabda Rasulullah r, “(
فَمَنْ عَرَفَ فَقَدْ بَرِئَ ) dalam riwayat lain dituturkan, “(فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ ). Adapun riwayat dari orang yang meriwayatkan, “(فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ ), maka hal ini sudah sangat jelas. Maknanya adalah, ”Siapa saja yang membenci kemungkaran tersebut, maka terlepaslah dosa dan balasan baginya. Ini hanya berlaku bagi orang yang tidak mampu mengingkari dengan tangan dan lisannya, lalu ia mengingkari kemungkaran itu dengan hati. Dengan demikian, ia telah terbebas (dari dosa dan siksa).
Adapun orang yang meriwayatkan dengan redaksi ( فَمَنْ عَرَفَ فَقَدْ بَرِئَ ) maknanya adalah –Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang lebih Mengetahui–,
”Siapa saja yang menyaksikan kemungkaran, kemudian ia tidak mengikutinya, maka ia akan mendapat jalan untuk terlepas dari dosa dan siksanya dengan cara mengubah kemungkaran itu dengan tangan dan lisannya. Dan jika tidak mampu, hendaknya ia mengingkari kemungkaran itu dengan hatinya.
Sedangkan sabda beliau, ”(وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ )”, maknanya adalah,
“Akan tetapi, dosa dan siksa akan dijatuhkan kepada orang yang meridloi dan mengikuti. Hadits ini merupakan dalil, bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak akan berdosa meskipun hanya sukût (mengingkari kemungkaran dengan diam). Namun, ia berdosa jika ridlo dengan kemungkaran itu, atau jika tidak membenci kemungkaran itu, atau malah mengikutinya”.
Adapun sabda Rasulullah r :
”(
أَفَلَا نُقَاتِلهُمْ ؟ قَالَ : لَا ، مَا صَلَّوْا ), di dalamnya terkandung makna sebagaimana disebutkan sebelumnya, yakni
“…TIDAK BOLEH MEMISAHKAN DIRI DARI PARA KHALIFAH, JIKA SEKEDAR ZHALIM DAN FASIK, DAN SELAMA MEREKA TIDAK MENGUBAH SALAH SATU DARI SENDI-SENDI ISLAM”.
(Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 12/243-244).
Hadits Kedua
عن عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ دَعَانَا النَّبِيُّ r فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
dari ‘Ubadah bin Shamit t, bahwasanya dia berkata
“Nabi r mengundang kami, lalu kami mengucapkan bai'at kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbai'at kepada beliau untuk selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami DAN BELIAU JUGA MENANDASKAN KEPADA KAMI UNTUK TIDAK MENCABUT SUATU URUSAN DARI AHLINYA KECUALI JIKA KALIAN [KITA] MELIHAT KEKUFURAN SECARA NYATA [DAN] MEMILIKI BUKTI YANG KUAT DARI ALLAH (HR. Bukhari).
  • Hadits-hadits ini telah mengecualikan larangan untuk memisahkan diri dan memerangi penguasa dengan pedang pada satu kondisi, yakni kekufuran yang nyata. Artinya, jika seorang penguasa telah melakukan kekufuran yang nyata, maka kaum Mu'min wajib melepaskan ketaatan dari dan diperbolehkan memerangi mereka dengan pedang.
  • Al Hafizh Ibnu Hajar, tatkala mengomentari hadits-hadits di atas menyatakan : “Jika kekufuran penguasa bisa dibuktikan dengan ayat-ayat, nash-nash, atau berita shohih yang tidak memerlukan ta'wil lagi, maka seorang wajib memisahkan diri darinya. Akan tetapi, jika bukti-bukti kekufurannya masih samar dan masih memerlukan ta'wil, seseorang tetap tidak boleh memisahkan diri dari penguasa”.
    (Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baari, juz 13/8-9).
  • Imam Al Khothobiy menyatakan; “Yang dimaksud dengan kufran bawwahan (kekufuran yang nyata) adalah kufran zhâhiran bâdiyan (kekufuran yang nyata dan terang benderang)”.
  • Imam Nawawi, di dalam Syarah Shohih Muslim menyatakan :
    “Al Qodhi ‘Iyadh menyatakan, 'Para ulama telah sepakat bahwa imamah tidak sah diberikan kepada orang kafir. Mereka juga sepakat, seandainya seorang penguasa terjatuh ke dalam kekafiran, maka ia wajib dimakzulkan'. Beliau juga berpendapat, 'Demikian juga jika seorang penguasa meninggalkan penegakan sholat dan seruan untuk sholat'.
قَالَ الْقَاضِي : فَلَوْ طَرَأَ عَلَيْهِ كُفْر وَتَغْيِير لِلشَّرْعِ أَوْ بِدْعَة خَرَجَ عَنْ حُكْم الْوِلَايَة ، وَسَقَطَتْ طَاعَته ، وَوَجَبَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ الْقِيَام عَلَيْهِ ، وَخَلْعه وَنَصْب إِمَام عَادِل إِنْ أَمْكَنَهُمْ ذَلِكَ (شرح النووي على مسلم - (ج 6 / ص 314)
Al Qodhi 'Iyadh berkata,
“Seandainya seorang penguasa terjatuh ke dalam kekufuran dan mengubah syari'at, atau terjatuh dalam bid’ah yang mengeluarkan dari hukm al wilayah (tidak sah lagi mengurusi urusan pemerintahan), maka terputuslah ketaatan kepadanya, dan wajib atas kaum Muslim untuk memeranginya, memakzulkannya, dan mengangkat seorang imam adil, jika hal itu memungkinkan bagi mereka”. (Imam Muslim, Syarah Shahih Muslim, juz 8, hal. 35-36).
KAPAN PENGUASA/PEMIMPIN DIANGGAP TELAH TERJATUH KEPADA KEKUFURAN YANG NYATA?
1. Jika Kekufuran Yang Nyata (Kufr Bawwah) Itu Terjadi Pada Diri Penguasa Itu Sendiri.
Para ulama berpendapat mengenai wajibnya munâza’ah (merebut kekuasaan) dari penguasa yang telah keluar dari Islam. Lihat Syarah Shahih Muslim Imam Al Nawawiy, juz 8, hal. 35-36 dan Fath al Baariy Al-Hafidz Ibnu Hajar, juz 13, hal. 8
2. Kekufuran nyata yang terjadi pada individu-individu kaum Muslim karena kemurtadan mereka dari Islam, namun hal ini tidak diingkari atau dicegah oleh penguasa.
Imam Al Qurthuby menjelaskan surah An Nisa’ 140 :
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan, Maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. karena Sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka”.
«فدلّ بهذا على وجوب اجتناب أصحاب المعاصي* إذا ظهر منهم منكر، لأنّ من لم يجتنبهم فقد رضي فعلهم، والرضا بالكفر كفر...»
“..Ini menunjukkan kewajiban menjauhi orang-orang yang bermaksiat kepada Allah jika telah nyata-nyata kemungkaran mereka, KARENA BARANGSIAPA YANG TIDAK MENJAUH DARI MEREKA BERARTI MERIDHOI TINDAKAN MEREKA DAN RIDHO KEPADA KEKUKUFURAN ADALAH KUFUR”
3. Kekufuran nyata yang berasal dari sistem pemerintahannya, yakni, ketika penguasa tersebut menegakkan sistem pemerintahan di atas aqidah kufur dan aturan hukum selain syari’ah Allah
Mengomentari penjelasan Ibnu Katsir tentang hukum Ilyasiq yang menjadi hukum bangsa Tartar saat menjajah kaum muslimin, Syaikh Ahmad Syakir mengatakan :
"Apakah kalian tidak melihat pensifatan yang kuat dari Al-Hafidz Ibnu Katsir pada abad ke-8 H terhadap undang-undang positif yang ditetapkan oleh musuh Islam Jengish Khan? Bukankah kalian melihatnya mensifati kondisi umat Islam pada abad 144 H ? Kecuali satu perbedaan saja yang kami nyatakan tadi, yakni hukum Ilyasiq hanya terjadi pada sebuah generasi penguasa yang menyusup dalam umat Islam dan segera hilang pengaruhnya. Namun kondisi kaum muslimin saat ini lebih buruk dan lebih dzalim dari mereka, karena kebanyakan umat Islam hari ini telah masuk dalam hukum yang menyelisihi syariat Islam ini; sebuah hukum yang paling menyerupai al-yasiq yang telah ditetapkan oleh seorang laki-laki kafir yang telah jelas kekafirannya. Sesungguhnya, urusan hukum positif ini telah jelas layaknya matahari di siang bolong yaitu kufur yang nyata (Kufrun Bawwah); tidak ada yang tersembunyi di dalamnya dan tak ada yang membingungkan. tidak ada udzur bagi siapapun yang mengakat dirinya muslim dalam berbuat dengannya, atau tunduk kepadanya atau mengakuinya. maka berhati-hatilah, setiap orang menjadi pengawas atas dirinya sendiri.” (Umdatut Tafsir 3/124)
Catatan kaki:
[1] Nawaqidhul Iman Al Qauliyyah wal Amaliyyah. Dr Abdul Aziz Al-Abdul Lathif hlm. 52-53.
[2] Majmu’ Fatawa jil. III hlm. 267.
Sumber: eramuslim
   Komentarku ( Mahrus ali ):
Saya akan mengomentari pernyataan Imam Ahmad, Ibnu Taimiyah  tentang orang yang menjalankan kekufuran tapi tidak mengerti, maka bisa di ampun.
Berhubung artikelnya sudah begitu banyak, saya hawatir membosankan, maka komentar saya di tunda dulu.
Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan