Sabtu, Februari 04, 2012

RPI ( Republik persatuan Indonesia ) telah diproklamirkan



Oleh: H.M.S Dt. Tan Kabasaran*
Agak “istimewa” dari yang lain. Pertama kali bertemu, bukan saya yang mendatangi, tapi pak Natsir yang datang ke Bukittinggi di awal Januari 1950. Beliau mengundang saya bertatap-muka.
Saya baru berusia 22 tahun tapi sudah bekeluarga, ketika mengayuh sepeda menginggalkan rumah di Birugo menuju jalan Luruih untuk memenuhi undangan bertemu pak Natsir di Markas Masyumi Sumatera Tengah. Saat itu beliau baru jadi Ketua Partai Masyumi.
Memang, sejak usia mantah (muda) saya sudah berkecimpung di markas GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia). Di sini saya mulai dari tukang sapu, hingga jadi Pengurus Wilayah GPII Sumatera Tengah.
Usia saya saat Ananda (reporter) datang ini, sudah 83 tahun. Peristiwa pertamakali bertemu dengan pak Natsir sudah sangat-sangat lama berlalu. Sehingga saya tak begitu ingat lagi bagaimana kesan pertama bertemu dengan beliau.
Di antara generasi pertama GPII dan Masyumi, saya mungkin satu-satunya yang amat jarang menemui beliau ke Jakarta. Beliaulah yang datang menemui saya.“Angku Malin, kata pak Natsir (saat itu saya belum bergelar Datuk), jangan jauh-jauh dari ranah Minang. Saya minta Angku Malin tetap saja di kampung (Bukittinggi). Angku Malin harus menjadi tampatan (tujuan pertama) setiap pengurus Masyumi Pusat dan GPII Pusat yang datang ke ranah Minang.”
Amanah itu, sampai di usia laruik sanjo (larut senja) ini, tetap saya pegang. Saya tak penah beranjak dari ranah Minang, kendati yang memberi amanah sudah lama berpulang ke pangkuan Allah Azza Wajalla.
Walau sangat jarang keluar daerah, saya sangat mendalami garis dasar perjuangan Masyumi yaitu mewujudkan Islam sebagai Dasar Negara Indonesia. Mungkin sudah beratus kali saya baca ulang naskah pidato beliau di muka sidang Konstituante yang bertajuk “Islam Sebagai Negara ”. Inilah yang pertama menarik saya terjun ke GPII dan kemudian Masyumi. Maka, sebagai anggota Masyumi dan bagian dari umat Islam, saya harus tutut berjuang bagi terwujudnya cita-cita menjadikan Islam sebagai Dasar Negara dan berjuang mempersiapkan masyarakat dengan berbagai kegiatan.
Sebab, andai kata Islam berhasil dijadikan sebagai Dasar Negara, maka masyarakat telah siap melaksanakan Syariat Islam karena memang telah kita siapkan sejak awal. Dengan demikian masyarakat Indonesia tidak akan canggung lagi melaksanakan hukum Islam. Karena tugas menyiapkan mental masyarakat itulah, saya menjadi punya cukup banyak pengalaman dan kenangan bersama pak Natsir.
Salah satu persiapan mental umat melaksanakan Islam sebagai dasar negara yang saya lakukan di Bukittinggi adalah menyiapkan dan melaksanakan Kongres Alim Ulama se-Sumatera selama sepekan di awal tahun 1967. Inilah alek gadang pertama yang berhasil mempertemukan para alim ulama di pulau Sumatera dimana saya diamanahkan menjadi Kepala Sekretariat persiapan dan pelaksananya.
Alhamdulillah, kongres Alim Ulama se-Sumatera selama lima hari itu berakhir dengan sukses. Lebih seratus tokoh Alim Ulama di pulau Sumatera hadir. Kendati tidak seluruh Alim Ulama anggota Masyumi, namun Kongres itu berhasil melahirkan rekomendasi yang intinya adalah juga tuntutan Masyumi.
Di antaranya Kongres Alim Ulama se Sumatera menuntut dibersihkannya pemerintahan dari unsur PKI. Bentuk Pengadilan Agama mulai dari Pusat hingga ke Kabupten/Kota di Indonesia. Tapi yang pokok bana sebagaimana tuntutan Masyumi dan kemudian PRRI, adalah dimana Kongres Alim Ulama dalam rekomendasi yang ditandatangani Buchari Tamam selaku ketua dan Sofyan Hamzah Sekretaris adalah, Pengurus Alim Ulama se Sumatera mempercayakan kepada Presiden membentuk Kabinet yang dipimpin Mohammad Hatta tanpa Dewan Nasional (DN) yang dipenuhi anasir komunis/PKI.
Tauladan di Tengah Hutan
Meski inti dari perjuangan pak Natsir adalah agar Negara yang baru merdeka tidak jatuh ke tangan komunis dan tidak terpecah belah menjadi beberapa Negara boneka bagi Negara Asing, dan meskipun dukungan terhadap perjuangan pak Natsir itu amat besar seperti rekomendasi Alim Ulama se-Sumatera itu, tetapi tidak juga digubris rezim penguasa. Justru, jawaban yang diberikan pada pak Natsir adalah penyerbuan. Beliau akhirnya harus masuk hutan-keluar hutan, bahkan dipenjarakan. Tapi itulah pak Natsir yang saya kenal. Beliau seorang pemimpin yang ikhlas dan istiqamah dimana dan kapan pun, bahkan ditengah hutan sekalipun.
Saya adalah kader dengan status sebagai “pembawa tas” pak Natsir saat harus masuk hutan, keluar hutan. Tapi sampai ke tengah hutan sekalipun saya mendapati beliau yo bana (betul-betul) pemimpin. Suatu ketika di dalam hutan, saya menyaksikan beliau didatangi orang kampung yang mengantarkan pucuk ubi, nangka dan segala macam sayuran. Memang orang kampung yang datang itu sudah terseleksi oleh kami. Saya lupa namanya, dia datang dengan pakaian kotor, berkeringat dan rambutnya kusut-masai. Tampaknya, dari ladang dia langsung saja membawa sayuran dengan mengendap-ngendap terus ke tempat persembunyian pak Natsir.
Oleh pak Natsir orang kampung yang datang dengan pakaiannya masih baluluak itu, belum dibolehkan pulang sebelum makan sama-sama dengan beliau. Bahkan sampai ke tempat duduk pun beliau ‘istimewakan’. Orang kampung itu disuruh duduk di sebelah kanan beliau, di sebelah kiri beliau duduk ummi dan anak-anak beliau. Sedangkan saya oleh pak Natsir di suruh duduk di sebelah kiri orang kampung itu.
Berapa kali tampak pak Natsir membasoi orang kampung itu. "Buekan samba, tambuahlah," (buatkanlah sambal, tambah lagi) begitu sapa pak Natsir. Beliau juga tidak buru-buru membasuh tangan begitu nasi di piringnya licin (habis). Beliau menanti orang kampung itu sampai selesai makan, dan barulah sama-sama mencuci tangan.
Kebesaran pak Natsir juga tampak ketika beliau berbincang-bincang dengan orang kampung itu. Memang Rasulullah pernah mengatakan, "Berbicaralah dengan orang, sepanjang pengetahuannya”. Itu dipraktekkan pak Natsir dalam pembicaraan dengan orang kampung itu.
Beliau memang bicarakan juga spirit perjuangan, tapi tidak dengan bahasa 'tinggi'. Jadi, siapapun yang mau datang tidak dibebani rasa takut. Lain dengan pak Syaf (Syafruddin Prawiranegara) atau pak Bur (Burhanuddin Harahap), banyak kawan-kawan takut bila disuruh berbicara empat mata dengan beliau, ‘setelannya’ tinggi.
Pak Natsir kalau berbicara, selalu menyesuaikan dengan audiensnya. Saat berbicara dengan pak Wali Nagari Sungai Batang, dia bicara tidak secadiak(secerdik) Camat. Setiap orang yang pertama bertemu dengan beliau, cepat terpaut hatinya dan merasa seperti sudah kenal lama.
Dari pengalaman selama hampir dua tahun berada dalam rimba bersama pak Natsir, saya sangat merasakan betapa beliau adalah pemimpin sejati yang tidak ada duanya di republik ini. Di masa susah itu, beliau benar sama-sama susah dengan yang dipimpin. Ketika mendaki bukit atau menuruni lembah, beliau sama-sama berjalan kaki dengan kami. Minta dipapah saja beliau tidak pernah, apalagi minta ditandu.
Teladan dari seorang pemimpin yang ikhlas itulah yang menumbuhsuburkan benih kesetiaan di hati para kader hingga tinggal di pelosok kampung dan di pinggir hutan sekali pun. Kesetiaan para kader pak Natsir itu saya saksikan langsung ketika kami baru masuk hutan.
Rimbo (hutan) pertama yang kami huni adalah rimbo Sitalang. Ini merupakan kawasan terujung dari wilayah Lubukbasung Utara berbatasan dengan Palembayan.Dari kampung Sitalang ke rimbo Sitalang cuma berjarak satu jam berjalan kaki saja. Amat dekat sebenar, bagi kaki tentara terlatih. Pada sebuah dangau di tengah rimba Sitalang itulah pak Natsir diungsikan dari kejaran tentara Soekarno yang sudah sampai di kampung Sitalang. Lebih delapan bulan pak Natsir di sini. Tapi tidak pernah tercium oleh tentara Soekarno yang terpisahkan oleh jarak cuma satu jam jalan kaki saja.
Pemimpim Masyumi Sitalang bersama masyarakat benar-benar berjuang menyelamatkan pak Natsir, sehingga tidak ada orang yang tahu lokasinya. Bila pun ada yang tahu, tapi masyarakat benar-benar bisa menutup mulut. Begitulah kharisma pak Natsir di hati ummat. Andai beliau bukan pemimpin paling dicintai ummat, maka pada hari kedua masuk hutan saja, pak Natsir sudah ditangkap. Ya, berapa jauhlah jarak kami dengan balatentara Sekarno. Hanya sekitar satu jam perjalanan saja, dan bagi tentara terlatih tentu itu sangatlah dekat.
Hanya karena kegelisahan seorang tua yang menjadi penunjuk jalan, akhirnya pak Natsir setuju melanjutkan perjalan dari rimbo Sitalang menembus hutan Palembayan, kemudian turun ke Kayu Pasak, lalu berbelok ke desa Maur. Setelah berdiam beberapa malam, Ketua Masyumi Palembayan memandu kami ke dalam hutan yang jarang dilalui orang.
Saya mengawal pak Natsir menuju tepi Batang Masang. Menjelang malam dari sini pak Natsir diberangkatkan ke seberang Batang Masang dengan menaiki rakit. Di sebarang Batang Masang itulah selama 11 bulan, pak Natsir diselamatkan. Padahal jaraknya tidaklah jauh dari tentara musuh. Dari persembunyian itu masih jelas terdengar deru oto prah (truk) yang hilir-mudik mengangkut tentara Soekarno. Pak Natsir berada di sana lebih 11 bulan dengan aman. Dan, barulah keluar dari hutan melalui Aia Kijang setelah Ketua Dewan Perjuangan PRRI, Ahmad Husein, mengumumkan dihentikannya perlawanan, pada awal Juni 1961.
Tapi pengumunan penghentian perlawanan oleh PRRI, bukan akhir perjuangan. Sebenarnya, perjuangan dengan cara dan nama lain, sudah diproklamirkan jauh sebelum pengumuman itu. Tepatnya, di awal Januari tahun 1961. Dalam suatu upacara di Bonjol Pasaman, diproklamirkanlah Republik Persatuan Indonesia (RPI) yang diikuti pak Natsir sebagai Menteri PDK dan Agama, sedangkan Presiden RPI adalah pak Syafruddin Prawiranegara.
Setelah memproklamirkan RPI di Bonjol, rombongan kemudian dibagi dua. Rombongan pak Syaf dan Burhanuddin berjalan ke arah Timur, sedangkan rombongan pak Natsir, Dahlan Djambek dan saya berjalan ke arah ke Barat. Adapun sebab RPI diproklamirkan karena perjuangan PRRI akan segera berakhir dan dibubarkan oleh pemerintahan Soekarno. Sedangkan cita-cita perjuangan PRRI belum tercapai, terutama tentang Pembubaran Dewan Nasional dan pembersihan Kabinet dari unsur PKI.
Karena tidak ada lagi jalan kompromi dengan rezim Soekarno, maka 'dilatuihkan bana' Republik Persatuan Indonesia . Jalannya upacara ya, seperti upacara militer
dilengkapi dengan pasukan militer, di antaranya pasukan Batalyon Kemal Amin.
RPI merupakan gerakan lanjutan PRRI yang dilengkapi dengan naskah Proklamasi dan UUD. Mukaddimah UUD RPI merupakan kutipan langsung dari Pidato Mohammad Natsir dalam suatu pertemuan lengkap Dewan Perjuangan PRRI. Masyarakat akan dapat membaca selengkapnya Mukaddimah UUD RPI di buku Kapita Selecta III yang akan terbit.
Memang, yang diproklamirkan tetap saja bernama Republik Persatuan Indonesia (RPI).Ya, sebenarnya pak Natsir, pak Syaf, pak Bur dan sejumlah tokoh sipil itu sangat cinta Republik Indonesia. Tadinya, sebelum dibentuknya PRRI para tokoh sipil ini sudah membuktikan kecintaannya pada Republik Indonesia. Jadi sebelum meraka datang dan bergabung, para Panglima yang membentuk Dewan-Dewan Daerah sudah sampai pada rencana pemisahan diri dari NKRI. Bahkan rapat di Sungai Dareh arahnya memang sudah ke sana, berjuang melepaskan diri dari Republik Indonesia. Tapi dengan keberadaan pak Natsir, pak Syaf, pak Bur dan Mr. Asaat, cita-cita itu dapat dipadamkan. Orang berempat ini bertahan dengan seruan, "Jangan!” dan makanya yang dibentuk bernama PRRI bukan Republik Sumatera atau bukan seperti yang sudah lebih dulu diproklamirkan yaitu RMS (Republik Maluku Selatan).
Jadi, pak Natsir cs ini bukan pemberontak.Karena yang akhirnya dibentuk hanya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Bukan pemerintahan Negara Sumatera misalnya atau seperti RMS itu. Tetapi setelah lebih 2,5 tahun berjalan, tak ada juga titik temu antara PRRI dan pemerintahan Jakarta. Bahkan jaraknya makin lama makin jauh, sementara di Maluku, Sulawesi dan Kalimantan kian tumbuh gerakan separatis yang mengancam keutuhkan Republik Indonesia. Maka, diproklamirkanlah Republik Persatuan Indonesia itu. (Bersambung)
*Mantan Pengawal Pak Natsir di Hutan Sumatera Barat, Tokoh Masyumi Sumbar dan Senior Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia wilayah Sumatera Barat.

Sumber: eramuslim.

Judul asli: Kenangan Seorang "Pembawa Tas" Muhammad Natsir

Komentarku ( Mahrus ali ):

Kesan saya RPI itu masih negara kufur bukan Negara Islam,  namun lebih baik dari pada RI yang waktu dulu juga banyak PKInya.  Sedang Negara Islam itu menggunakan Quran sebagai dasar Negara bukan hukum warisan Belanda atau hokum budaya lain.Lihat ayat sbb:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? Maidah 50

Baca lagi disini:
24 Jan 2012


06 Agt 2011
Artikel Terkait

1 komentar:

  1. Terimakasih atas pencerahan dari Buya, sy tertarik menggogling ttg RPI, karena mendapat info yang katanya konon bendera nasional Singapore adalah bendera RPI waktu itu, mohon penjelasan dari Buya.

    BalasHapus

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan